Pengertian as-Sunnah Secara Bahasa (Etimologi)
As-Sunnah  secara bahasa berasal dari kata: “sanna  yasinnu”, dan “yasunnu sannan”, dan “masnuun” yaitu yang disunnahkan.  Sedang “sanna amr” artinya menerangkan (menjelaskan) perkara.
As-Sunnah juga mempunyai  arti “at-Thariqah” (jalan/metode/pandangan  hidup) dan “as-Sirah” (perilaku) yang terpuji dan tercela. Seperti sabda  Rasulullah SAW,“Sungguh kamu  akan mengikuti perilaku orang-orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). (HR. Al-Bukhari no 3456, 7320 dan Muslim no. 2669 dari Sahabat Abu Sa’id al-Khudri).
Lafazh “sanana” maknanya adalah (pandangan hidup mereka dalam urusan agama dan dunia).
“Barangsiapa memberi contoh suatu sunnah (perilaku)  yang baik dalam Islam, maka baginya pahala kebaikan tersebut dan pahala  orang yang mengerjakannya setelahnya, tanpa mengurangi sesuatu apapun  dari pahala mereka. Dan barang siapa memberi contoh sunnah (perilaku)  yang jelak dalam Islam ….” (HR. Muslim). ((HR. Muslim no. 1017,  at-Tirmidzi no. 2675, Ibnu Majah no. 203, ad-Darimi no. 514, Ahmad  (IV/357), an-Nasa-i no. 2553, dan yang lainnya dari Sahabat Jarir bin  ‘Abdillah. Hadist selengkapknya adalah sebagai berikut, “Dari  al-Mundzir  bin jarir, dari bapaknya, dia berkata, “Kami pernah berada  bersama Rasulullah SAW pada permulaan terik siang. Dia berkata, ‘Lalu  datanglah kepada Rasulullah SAW suatu kaum dalam keadaan tidak beralas  kaki dan telanjang, hanya memakai kain selimut (yang nampak dari yang  memakainya hanya bagian kepala saja) atua mantel dari karung sambil  menyandang pedang, kebanyakan mereka  dari kabilah Mudhar, bahkan  semuanya dari Mudhar. Melihat kondisi demikian raut wajah Rasulullah SAW  menjadi berubah (karena merasa iba) karena melihat kefakiran yang  menimpa mereka. Lalu  beliau masuk kemudian keluar, kemudian  menyuruh  Bilal untuk mengumandangkan adzan dan iqamah. Rasulullah SAW lalu  mengerjakan shalat kemudian dikuti dengan berkhutbah, sambil bersabda :  ‘Hai sekalain manusia bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan  kamu dari seorang diri, …. sampai akhir ayat ‘Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu,’ (An-Nisaa’: 1) juga membaca ayat dalam surat Al-Hasyr, ‘Hari  orang-orang  yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah  setiap diri memeprhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok  (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah….’ (Al-Hasyr: 18). (Karena  mendengar khutbah Nabi tersebut) Kemudian ada seseorang bershadaqah dari  dinarnya, diharmnya, pakaiannya, dari satu sha’ (kira-kira 3 kg)  gandumnya, satu sha’ kurma, sampai-sampai beliau mengatakan walaupun  hanya dengan setengah butir kurma kering.’ Dia berkata: “Kemudian  seorang laki-laki dari Kaum Anshar membawa  membawa sekantung penuh  kurma, hampir-hampir telapak tangannya tidak kuat untuk membawahnya,  bahkan benar-benar lemah, maka hal itu diikuti silih berganti oleh  banyak orang. Sampai-sampai aku melihat dua tumpukan makanan dan pakaian  yang sangat banyak. Akupun melihat raut wajah Rasulullah SAW bergembira  seakan-akan bersinar cerah sekali,  kemudian beliau bersabda: “Barangsiapa   yang mencontohkan suatu sunnah yang baik dalam Islam, maka baginya  pahala sunnah tersebut dan pahala orang yang mengamalkannya sesudahnya,  tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun, dan barang siapa mencontoh  suatu sunnah yang jelek/buruk dalam Islam, maka dosanya akan  ditanggungnya dan juga dosa orang yang mengamalkannya setelahnya, tanpa  mengurangi dosa mereka sedikitpun.’)
“Barangsiapa memberi contoh suatu sunnah (perilaku)  yang baik dalam Islam, maka baginya pahala kebaikan tersebut dan pahala  orang yang mengerjakannya setelahnya, tanpa mengurangi sesuatu apapaun  dari pahalam mereka. Dan barangsiapa memberi contoh sunnah (perilaku)  yang jelak dalam Islam ….”
Lafazh “sunnah” maknanya adalah “sirah” (perilaku). (Lihat  kamus bahasa, Lisaanul ‘Arab, Mukhtaarush Shihaah dan al-Qaamuusul  Muhith: (bab: Sannana).
Pengertian as-Sunnah Secara Istilah (Terminologi)
Yaitu petunjuk yang telah ditempuh oleh rasulullah SAW dan  para Sahabatnya baik berkenaan dengan ilmu, ‘aqidah, perkataan,  perbuatan maupun ketetapan.
As-Sunnah juga digunakan untuk menyebut sunnah-sunnah (yang  berhubungan dengan) ibadah dan ‘aqidah. Lawan kata “sunnah” adalah  “bid’ah”.
Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya barang siapa yang  hidup diantara kalian setelahkau, maka akan melihat perselisihan yang  banyak. Maka hendaknya kalian berpegang teguh pada Sunnahku dan Sunnah  para Khulafa-ur Rasyidin dimana mereka itu telah mendapat hidayah.”  (Shahih Sunan Abi Dawud oleh Syaikh al-Albani). (HR. Ahmad  (IV/126-127), Abu Dawud no. 4607, at-Tirmidzi no. 2676, dan al-Hakim  (I/95), dishahihkan dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi. Lihat  keternagan hadits selengkapnya di dalam Irwaa-ul Ghaliil no. 2455 oleh  Syaikh al-Albani.
Pengertian Jama’ah Secara Bahasa (Etimologi)
Jama’ah diambil dari kata “jama’a” artinya mengumpulkan  sesuatu, dengan mendekatkan sebagian dengan sebagian lain. Seperti  kalimat “jama’tuhu” (saya telah mengumpulkannya); “fajtama’a” (maka  berkumpul).
Dan kata tersebut berasal dari kata “ijtima’”  (perkumpulan), ia lawan kata dari “tafarruq” (perceraian) dan juga lawan  kata dari “furqah” (perpecahan).
Jama’ah adalah sekelompok orang banyak; dan dikatakan juga sekelompok manusia yang berkumpul berdasarkan satu tujuan.
Dan jama’ah juga berarti kaum yang bersepakat dalam suatu  masalah. (Lihat kamus bahasa: Lisaanul ‘Arab, Mukhtaraarush Shihaah dan  al-Qaamuusul Muhiith: (bab: Jama’a).
Pengertian Jama’ah Secara Istilah (Terminologi):
Yaitu kelompok kaum muslimin ini, dan mereka adalah  pendahulu ummat ini dari kalangan para sahabat, tabi’in dan orang-orang  yang mengikuti jejak kebaikan mereka sampai hari kiamat; dimana mereka  berkumpul berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah dan mereka berjalan sesuai  dengan yang telah ditempuh oleh Rasulullah SAW baik secara lahir maupun  bathin.
Allah Ta’ala telah memeringahkan kaum Mukminin dan  menganjurkan mereka agar berkumpul, bersatu dan tolong-menolong. Dan  Allah melarang mereka dari perpecahan, perselisihan dan permusuhan.  Allah SAW berfirman: “Dan berpeganglah kamu semua kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.” (Ali Imran: 103).
Dia berfirman pula, “Dan janganlah kamu menyerupai  orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan  yang jelas kepada mereka.” (Ali Imran: 105).
Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya agama ini akan  terpecah menjadi tujuh puluh tiga (golongan), tujuh puluh dua tempatnya  di dalam Neraka dan satu tempatnya di dalam Surga, yaitu ‘al-Jama’ah.”  (Shahih Sunan Abi Dawud oleh Imam al-Albani). (HR. Abu Dawud no. 4597,  Ahmat (IV/102), al-Hakim (I/128), ad-Darimi (II/241). Dishahihkan oleh  al-Hakim dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi dari Mu’awiyah bin Abi  Sufyan. Dishahihkan pula oleh Syaikh al-Albani. Lihat Silsilatul  Ahadadiitsish Shahiihah no. 203.204).
Beliau juga bersabda, “Hendaknya kalian bersatu, dan  janganlah bercerai-berai. Karena sesungguhnya syaitan itu bersama  seorang, dan dia dari dua orang lebih jauh. Barangsiapa menginginkan di  tengah-tengah Surga, maka hendaknya ia berjama’ah (bersatu)!” (HR  Ahmad, dalam Musnadnya, dan dishahihkan oleh Imam al-Albani dalam kitab  Sunnah karya Ibnu Abi ‘Ashim). (HR. At-Tirmidzi no. 2165, Ahmad (I/18),  lafazh ini milik at-Tirmidzi. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam  kitab as-Sunnah karya Ibnu Abi ‘Ashim dan bersamanya kitab Zhilaalul  Jannah fi Takhrij as-Sunnah no. 88).
Seorang Sahabat yang mulia bernama ‘Abullah bin Mas’ud r.a. berkata, “Al-Jama’ah adalah yang mengikuti kebenaran walaupun engkau sendirian.”  (Diriwayatkan oleh al-Lalika-i dalam kitabnya, Syarah Ushul I’tiqaad  Ahlis Sunnah wal Jama’ah). (Syarah Ushuulil I’tiqaad karya al-Lalika-i  no. 160 dan al-Baa’its ‘alaa Inkaaril Bida’ wal Hawaadits hal. 91-92,  tahqiq oleh Syaikh Masyhur bin Hasan Salman).
Jadi Ahlus Sunnah wal Jama’ah, adalah mereka yang berpegang  teguh pada sunnah Nabi Muhammad SAW, para sahabatnya dan orang-orang  yang mengikuti jejak dan jalan mereka, baik dalam hal ‘aqidah, perkataan  maupun perbuatan, juga mereka yang istiqamah (konsisten) dalam  ber-ittiba’ (mengikuti Sunnah Nabi SAW) dan menjauhi perbuatan bid’ah.  Mereka itulah golongan yang tetap menang dan senantiasa ditolong oleh  Allah sampai hari Kiamat. Oleh karena itu mengikuti mereka (Salafush  Shalih) berarti mendapatkan petunjuk, sedang berselisih terhadapnya  berarti kesesatan.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah mempunyai karakteristik dan keistimewaan, diantaranya :
1. Mereka mempunyai sikap wasathiyah (pertengahan) di  antara ifraath (melampaui batas) dan tafriith (menyia-nyiakan); dan di  antara berlebihan dan sewenang-wenang, baik dalam masalah ‘aqidah, hukum  atau akhlak. Maka mereka berada di pertengahan antara golongan-golongan  lain, sebagaimana juga ummat ini berada dipertengahan antara  agama-agama yang ada.
2. Sumber pengambilan pedoman bagi mereka hanyalah  al-Qur-an dan as-Sunnah, Mereka pun memperhatikan keduanya dan bersikap  taslim (menyerah) terhadap nash-nashnya dan memahaminya sesuai dengan  manhaj Salaf.
3. Mereka tidak mempunyai iman yang diagungkan, yang semua  perkataannya diambil dari meninggalkan apa yang bertentangan dengan  kecuali perkataan Rasulullah SAW. Dan Ahli Sunnah itulah yang paling  mengerti dengan keadaan Rasulullah SAW  perkataan dan perbuatannya. Oleh  karena itu, merekalah yang paling mencintai sunnah, yang paling peduli  untuk mengikuti dan paling lolal terhadap para pengikutnya.
4. Mereka meninggalkan persengketaan dan pertengkaran dalam  agama sekaligus menjauhi orang-orang yang terlibat di dalamnnya,  meninggalkan perdebatan dan pertengkaran dalam permasalahan tentang  halal dan haram. Mereka masuk ke dalam dien (Islam) secara total.
5. Mereka mengagungkan para Salafush Shalih dan  berkeyakinan bahwa metode Salaf itulah yang lebih selamat, paling dalam  pengetahuannya dan sangat bijaksana.
6. Mereka  menolak ta’wil (penyelewengan suatu nash dari  makna yang sebenarnya) dan menyerahkan diri kepada syari’at, dengan  mendahulukan nash yang shahih daripada akl (logika) belaka dan  menundukkan akal di bawah nash.
7. Mereka memadukan antara nash-nash dalam suatu  permasalahan dan mengembalikan (ayat-ayat) yang mutasyabihat (ayat-ayat  yang mengandung beberapa pengertian/tidak jelas) kepada yang muhkam  (ayat-ayat yang jelas dan tegas maksudnya).
8. Mereka merupakan  figur teladan orang-orang yang shalih,  memberikan petunjuk ke arah jalan yang benar dan lurus, dengan  kegigihan mereka di atas kebenaran, tidak membolak-balikkan urusan  ‘aqidah kemudian bersepakat atas penyimpangannya. Mereka memadukan  antara ilmu dan ibadah, antara tawakkal  kepada Allah dan ikhtiar  (berusaha), antara berlebih-lebihan dan wara’ dalam urusan dunia, antara  cemas dan harap, cinta dan benci, antara sikap kasih sayang dan lemah  lembut kepada kaum mukminin dengan sikap keras dan kasar kepada orang  kafir, serta tidak ada perselisihan diantara mereka walaupun di tempat  dan zaman yang berbeda.
9.    Mereka tidak menggunakan sebutan selain Islam, Sunnah dan Jama’ah.
10.  Mereka peduli untuk menyebarkan ‘aqidah yang benar,  agama yang lurus, mengajarkannya kepada manusia, memberkan bimbingan dan  nasehat kepadanya serta memperhatikan urusan mereka.
11. Mereka adalah orang-orang yang paling sabar atas perkataan, ‘aqidah dan dakwahnya.
12. Mereka sangat peduli terhadap persatuan dan jama’ah,  menyeru dan menghimbau manusia kepadanya serta menjauhkan perselisihan,  perpecahan dan memberikan peringatan kepada manusia dari hal tersebut.
13.  Allah Ta’ala menjaga mereka dari sikap saling  mengkafirkan sesama mereka, kemudian mereka menghukumi orang selain  mereka berdasarkan ilmu dan keadilan.
14.  Mereka saling mencintai dan mengasihi sesama mereka,  saling tolong menolong diantara mereka, saling menutupi kekurangan  sebagian lainnya. Mereka tidak loyal dan memusuhi kecuali atas dasar  agama.
Secara garis besarnya, ahlus sunnah wal jama’ah adalah  manusia yang paling baik akhlaknya, sangat peduli terhadap kesucian  jiwa  mereka dengan berbuat ketaatan kepada Allah Ta’ala, paling luas  wawasannya, paling jauh pandangan, paling lapang dadanya dengan khilaf  (perbedaan pendapat) dan paling mengetahui tentang adab-adab  dan  prinsip-prinsip khilaf.
Pengertian Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Secara Ringkas
Bahwa Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah suatu golongan yang  telah Rasulullah SAW janjikan akan selamat di antara golongan-golongan  yang ada. Landasan mereka bertumpu pada ittiba’us sunnah (mengikuti  as-Sunnah) dan menuruti apa yang dibawa oleh nabi baik dalam masalah  ‘aqidah, ibadah, petunjuk, tingkah laku, akhlak dan selalu menyertai  jama’ah kaum Muslimin.
Dengan demikian, maka definisi Ahlus Sunnah wal Jama’ah  tidak keluar dari definisi Salaf. Dan sebagaimana telah dikemukakan  bahwa salaf  ialah mereka yang mengenalkan Al-Qur-an dan berpegang teguh  dengan As-Sunnah. Jadi Salaf adalah Ahlus Sunnah yang dimaksud oleh  Nabi SAW. Dan ahlus sunnah adalah Salafush Shalih dan orang yang  mengikuti jejak mereka.
Inilah pengertian yang lebih khusus  dari Ahlus Sunnah wal  Jama’ah. Maka tidak termasuk dalam makna ini semua golongan ahli bid’ah  dan orang-orang yang mendikuti keinginan nafsunya, seperti  Khawarij,  Jahmiyah, Qadariyah, Mu’tazilah, Murji’ah, Rafidhah (Syiah) dan  lain-lainnya dari ahli bid’ah yang meniru jalan mereka.
Maka sunnah adalah lawan kata bid’ah, sedangkan jama’ah  lawan kata firqah (gologan). Itulah yang dimaksudkan dalam hadits-hadits  tentang kewajiban berjama’ah dan larangan bercerai-berai.
Inilah yang dimaksudkan oleh “Turjumanul Qur-an (juru  bicara al-Qur-an)” yaitu ‘Abdullah bin ‘Abbas r.a. dalam menafsirkan  firman Allah Ta’ala, “Pada hari yang diwaktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula maka yang hitam muram”. (Ali Imran: 106).
Beliau berkata, “Muka yang putih berseri adalah muka Ahlus  Sunnah wal Jama’ah dan muka yang hitam muram adalah muka ahlil bid’ah  dan furqah (perselisihan).” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Juz I hal. 390  (QS. Ali Imran: 106).
sumber: Diadaptasi dari Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsari, Al-Wajiiz fii Aqiidatis Salafis Shaalih (Ahlis Sunnah wal Jama’ah), atau Intisari Aqidah Ahlus Sunah wal Jama’ah), terj. Farid bin Muhammad Bathathy(Pustaka Imam Syafi’i, cet.I), hlm. 50 -60.

0 komentar:
Posting Komentar