Pembantaian  suku Tutsi. Tidak untuk ditiru-sumber google.
Pembantaian massal di Rwanda atau dikenal   Genocide Rwanda terjadi selama 100 hari pada tahun 1994. Tragedi   tersebut adalah sebuah pembantaian 800.000 suku Tutsi dan Hutu moderat   oleh sekelompok ekstremis Hutu yang dikenal sebagai Interahamwe yang   terjadi dalam periode 100 hari pada tahun 1994.
Pembantaian bermula pada tanggal 6 April   1994, ketika Presiden Rwanda, Juvenal Habyarimana menjadi korban   penembakan saat berada di dalam pesawat terbang. Saat itu, Habyarimana   yang berasal dari etnis Hutu berada dalam satu heli dengan presiden   Burundi, Cyprien Ntarymira. Mereka baru saja menghadiri pertemuan di   Tanzania untuk membahas masalah Burundi. Sebagian sumber menyebutkan   pesawat yang digunakan bukanlah helikopter melainkan pesawat jenis jet   kecil Dassault Falcon. Peristiwa penembakan keji itu diduga terjadi   untuk unjuk protes terhadap rencana Presiden Habyarimana yang berencana   melakukan persatuan etnis di Rwanda dan pembagian kekuasaan kepada   etnis-etnis yang cukup majemuk di Rwanda. Pada tahun 1990, Habyarimana   memiliki gagasan membentuk suatu pemerintahan yang melibatkan tiga etnis   di Rwanda yakni Hutu (85%), Tutsi (14%) dan Twa (1%). Untuk diketahui,   pada saat itu, jumlah penganut Kristen Katholik 56.5%, Protestan  37.1%,  Islam 4.6%, Tidak beragama 1.7%, dan pribumi 0.1%.
Pembantaian tak  berperkemanusiaan 
Habyarimana mengangkat perdana menteri Agathe  Uwilingiyama dari suku  Tutsi. Pengangkatan pejabat pemerintah yang  berasal dari suku yang  berlainan ini tidak diterima oleh kelompok  militan yang ingin  mempertahankan sistem pemerintahan yang dimonopoli  satu suku. Konsep  pemerintahan power sharing yang melibatkan banyak  suku ini tercantum  dalam Piagam Arusha (Arusha Accord) pada tahun 1993,  di mana dalam  piagam itu disebut jabatan-jabatan pemerintahan Rwanda,  tidak lagi 100%   dimiliki oleh suku Hutu. Piagam berisi persetujuan  agar suku-suku  lainnya juga memiliki hak yang sama seperti suku Hutu.  Militan  mengangkat planning ini sebagai bentuk ancaman eksistensi suku  Hutu  dalam pemerintahan, walaupun Habyarimana sendiri juga berasal dari  suku  Hutu.Meskipun pelaku penembakan masih  simpang  siur dan tidak diketahui dengan pasti, tetapi kematian  Habyarimana  menjadi alasan untuk memberlakukan pembunuhan massal  (Genocide) terhadap  etnis Tutsi secara terencana dan terorganisir oleh  kumpulan militan  teroris. Kumpulan militan ini bahkan membentuk Sistem  Radio Genosidal  yang digunakan untuk memberitahukan dimana Tutsi  bersembunyi. Dalam  jangka 100 hari sejak kematian Habyarimana, sekitar  800.000 atau bahkan  hampir 1.000.000 warga etnis Tutsi mati secara keji  dan mengerikan.
Anak-anak korban pembantaian  Setelah kematian sang presiden, Pasukan khusus Pengawal Presiden yang   dibantu instruktur Perancis segera melakukan aksi cepat, dan menjalin   bekerja sama dengan kelompok paramiliter Rwanda, Interahamwe dan   Impuzamugambi.
Penyerangan  dimulai dari ibu kota Rwanda.  Kemudian ketiga kelompok bersenjata itu  mulai membunuh siapa saja yang  mendukung piagam Arusha tanpa  mempedulikan status jabatan dan  sebagainya. Perdana Menteri Rwanda,  yang berasal dari suku Tutsi tak  lepas dari pembunuhan kelompok  bersenjata. Selain dia, masih ada  nama-nama dari kalangan menteri,  pastor dan siapa saja yang mendukung  maupun terlibat dalam negosiasi  piagam Arusha, dibantai.
Sebagian  besar korban dibiarkan  tergeletak begitu saja dan tidak dimakamkan  secara layak. Paling umum  saat itu hanyalah ditimbun dengan tanah  sekedarnya. Dalam memory,  Pegunungan Gisozi menjadi tempat pemakaman  massal. Di tempat ini  diperkirakan terdapat 250.000 jasad warga tak  berdosa korban konspirasi  keji.
Kelompok  militan yang berasal dari suku  Hutu ini membunuh semua penduduk Rwanda  yang berasal dari suku Tutsi,  tanpa diberi hak untuk membela. Jumlah  penduduk Hutu ini mayoritas dan  pemeluk agama yang mayoritas saat itu  adalah Kristen.
Islam di Rwanda
Pertama kali Islam dibawa masuk ke Rwanda  oleh  pedagang-pedagang muslim dari Pantai Timur Afrika pada kurun  ke-18.  Jumlah orang Islam merupakan golongan minoritas di sana sedangkan   Gereja Rom Katolik yang diperkenalkan kepada orang Rwanda semasa   penyerngan Orang Belgia, penjajahan dan kolonisasi, mubaligh-mubaligh   Perancis pada akhir kurun ke-19 memiliki pengikut yang lebih banyak.
|  | 
| Add caption | 
Korban
Pada tahun 1960, bekas menteri   pemerintahan Sebazungu telah mengarahkan agar masjid orang Islam di   Rwamagana dibakar. Akibat peristiwa ini, orang Islam diselubungi   ketakutan dan banyak di mereka yang melarikan diri ke negara-negara   teranggan. Dikatakan bahwa pihak gereja Katolik terlibat dalam peristiwa   ini yang memburukkan lagi ketegangan antara orang Islam dengan orang   Kristen tersebut, membuat khwatir pihak gereja  di Rwanda.
Pada masa sebelum tahun 1994, umat Islam   di Rwanda kurang mendapat perhatian pemerintah, sehingga tingkat   pendidikan rendah, dan daya serap di dunia kerjapun kurang, yang hal ini   menciptakan kondisi di mana umat Islam tidak memiliki pekerjaan layak.   Status sosial yang hina tersebut dirasakan oleh umat Islam sampai   terjadinya pembantaian massal pada tahun 1994. Populasi orang Islam   sebelum pembunuhan suku pada tahun 1994 tersebut adalah sebanyak 4% yang   luarbiasa rendah berbanding negara-negara tetangganya.
Islam setelah Pembantaian etnis
Jumlah  orang Islam Rwanda meningkat  selepas Pembunuhan etnik pada tahun 1994.  Salah satu sebab yang mungkin  ialah banyaknya orang Islam telah memberi  perlindungan kepada  pelarian-pelarian suku Hutu dan suku Tutsi.  Beberapa sumber menjelaskan  bahawa mereka memeluk Islam kerana peranan  yang dimainkan oleh  pemimpin-pemimpin Katolik dan Protestan dalam  pembunuhan kaum tersebut.  Kelompok-kelompok hak asasi manusia telah  mencatatkan beberapa insiden  pendeta-pendeta Kristen memberi restu  kepada Kaum Tutsi untuk  mendapatkan perlindungan di dalam gereja,  kemudian menyerahkan mereka  kepada kubu pembunuh Hutu. Contoh-contoh  pstur-pastur Hutu yang  menggalakkan jamaah mereka supaya membunuh Kaum  Tutsi juga telah  dicatatkan.
Laporan-laporan  perseorangan oleh  beberapa orang Kaum Tutsi yang memeluk Islam demi  keselamatan diri  karena mereka takut akan pembunuhan tindak balas yang  berterusan angkara  teroris suku Hutu, dan tahu bahwa orang Islam dapat  melindungi mereka  daripada angkara sebegitu. Begitu juga banyak suku  Hutu yang memeluk  Islam untuk mencari “penyucian”. Banyak warga suku  Hutu  melupakan masa  silam mereka yang diselubungi keganasan dan tidak  mau “mencemari tangan  mereka dengan darah”. Terdapat sebilangan kecil  contoh kurang popular  yang menunjukkan suku Hutu memeluk Islam dengan  harapan bahawa mereka  dapat bersembunyi di kalangan masyarakat orang  Islam dan dengan itu  terlepas daripada tangkapan.
Kadar pertukaran agama menurun pada tahun   1997. Menurut mufti Rwanda, masyarakat Islam tidak menyaksikan sebarang   peningkatan dalam pertukaran agama ke dalam Islam pada tahun 2002-2003.   Agama Kristen masih lagi menjadi agama utama. Mazhab Katolik (yang  tiba  pada akhir kurun ke-19 bersama-sama White Father dalam Gereja Roma   Katolik) masih lagi tertanam dalam budaya negara tersebut. Menurut   pemimpin-pemimpin Islam Rwanda, orang Islam membentuk 14% daripada 8.2   juta orang di Rwanda, negara Afrika paling Katolik, dua kali lebih   banyak berbanding sebelum pembunuhan itu bermula.
Hampir satu dekade setelah aksi   pembantaian ratusan ribu etnis minoritas Tutsi oleh mayoritas Hutu itu,   agama Islam justru semakin populer. Seperti ditulis surat kabar Amerika   Serikat, Washington Post, Muslim saat ini meliputi 14 persen dari 8,2   juta warga Rwanda.
Genosida itu  sangat melukai masyarakat  Kristen Rwanda, apalagi terbukti banyak para  pastor katolik dan pendeta  protestan terkemuka yang terlibat dalam aksi  tak berperikemanusiaan itu.  Dan kini mereka harus berhadapan dengan  pengadilan kejahatan hak-hak  asasi manusia (HAM). Salah satunya adalah  Elizaphan Ntakirutimana,  kepala Gereja Advent Hari Ketujuh.
Ntakirutimana merupakan orang Hutu yang   menggiring ribuan warga etnis Tutsi ke gerejanya di provinsi Kibuye   dengan janji akan dilindungi keselamatannya. Tapi nyatanya sang pendeta   justru menyerahkan orang-orang Tutsi itu kepada milisi Hutu yang   kemudian membantai dengan sadis 7.000-an warga Tutsi itu dalam satu   hari.
Pada waktu yang sama,  Muslim Rwanda -  yang umumnya memiliki ikatan perkawinan baik dengan  warga Hutu maupun  Tutsi-membuka pintu rumah mereka lebar-lebar bagi  warga Tutsi yang  ketakutan. Entah kenapa warga suku Hutu yang beragama  Kristen itu tak  berani memasuki kampung atau rumah-rumah keluarga  Muslim.
Yahya Kayiranga, pemuda  Tutsi yang lari  bersama ibunya dari ibukota Kigali di awal pembantaian,  diselamatkan  dirumah keluarga Muslim di kota Gitarama. Disana ia  bersembunyi sampai  aksi pembantaian itu berakhir. Namun ayah dan  pamannya yang tetap  tinggal di Kigali, tewas dibunuh.
“Kami ditolong oleh orang yang tidak kami   kenal,” kata anak muda berusia 27 tahun itu, seperti dilaporkan surat   kabar Amerika lainnya, Chicago Tribune. Ia kecewa berat dengan perilaku   para pastor dan pendeta yang justru ikut terlibat tindakan keji itu.   Yahya pun memilih menjadi Muslim di tahun 1996.
“Saya tahu Amerika menganggap Muslim   sebagai teroris. Tapi bagi kami orang Rwanda, mereka adalah pejuang   pembebas selama masa pembantaian massal,” kata Jean Pierre Sagahutu (37   tahun), warga Tutsi lainnya. Ia yang dulunya Katolik ini memeluk Islam   setelah ayah dan 9 anggota keluarganya dibantai oleh warga Hutu yang   seagama dengannya.
“Saya ingin menyelamatkan diri ke  gereja,  tapi tempat itu justru sangat buruk untuk bersembunyi. Lalu  sebuah  keluarga Muslim membawa saya, dan menyelamatkan hidup saya.”
Sumber  :



0 komentar:
Posting Komentar