Pembagian Waris Menurut Islam

Jumat, 23 Maret 2012


A. Penjelasan

Allah SWT melalui ketiga ayat tersebut --yang kesemuanya
termaktub dalam surat an-Nisa'-- menegaskan dan merinci
nashih (bagian) setiap ahli waris yang berhak untuk
menerimanya. Ayat-ayat tersebut juga dengan gamblang
menjelaskan dan merinci syarat-syarat serta keadaan orang
yang berhak mendapatkan warisan dan orang-orang yang tidak
berhak mendapatkannya. Selain itu, juga menjelaskan keadaan
setiap ahli waris, kapan ia menerima bagiannya secara
"tertentu", dan kapan pula ia menerimanya secara 'ashabah.

Perlu kita ketahui bahwa ketiga ayat tersebut merupakan
asas ilmu faraid, di dalamnya berisi aturan dan tata cara
yang berkenaan dengan hak dan pembagian waris secara
lengkap. Oleh sebab itu, orang yang dianugerahi pengetahuan
dan hafal ayat-ayat tersebut akan lebih mudah mengetahui
bagian setiap ahli waris, sekaligus mengenali hikmah Allah
Yang Maha Bijaksana itu.

Allah Yang Maha Adil tidak melalaikan dan mengabaikan hak
setiap ahli waris. Bahkan dengan aturan yang sangat jelas
dan sempurna Dia menentukan pembagian hak setiap ahli waris
dengan adil serta penuh kebijaksanaan. Maha Suci Allah. Dia
menerapkan hal ini dengan tujuan mewujudkan keadilan dalam
kehidupan manusia, meniadakan kezaliman di kalangan mereka,
menutup ruang gerak para pelaku kezaliman, serta tidak
membiarkan terjadinya pengaduan yang terlontar dari hati
orang-orang yang lemah.

Imam Qurthubi dalam tafsirnya mengungkapkan bahwa ketiga
ayat tersebut merupakan salah satu rukun agama, penguat
hukum, dan induk ayat-ayat Ilahi. Oleh karenanya faraid
memiliki martabat yang sangat agung, hingga kedudukannya
menjadi separo ilmu. Hal ini tercermin dalam hadits berikut,
dari Abdullah Ibnu Mas'ud bahwa Rasulullah saw. bersabda:


"Pelajarilah Al-Qur'an dan ajarkanlah kepada
orang lain, serta pelajarilah faraid dan ajarkanlah kepada
orang lain. Sesungguhnya aku seorang yang bakal meninggal,
dan ilmu ini pun bakal sirna hingga akan muncul fitnah.
Bahkan akan terjadi dua orang yang akan berselisih dalam hal
pembagian (hak yang mesti ia terima), namun keduanya tidak
mendapati orang yang dapat menyelesaikan perselisihan
tersebut. " (HR Daruquthni)

Lebih jauh Imam Qurthubi mengatakan, "Apabila kita telah
mengetahui hakikat ilmu ini, maka betapa tinggi dan agung
penguasaan para sahabat tentang masalah faraid ini. Sungguh
mengagumkan pandangan mereka mengenai ilmu waris ini.
Meskipun demikian, sangat disayangkan kebanyakan manusia
(terutama pada masa kini) mengabaikan dan
melecehkannya."1


Perlu kita ketahui bahwa semua kitab tentang waris yang
disusun dan ditulis oleh para ulama merupakan penjelasan dan
penjabaran dari apa yang terkandung dalam ketiga ayat
tersebut. Yakni penjabaran kandungan ayat yang bagi kita
sudah sangat jelas: membagi dan adil. Maha Suci Allah Yang
Maha Bijaksana dalam menetapkan hukum dan syariat-Nya.

Di antara kita mungkin ada yang bertanya-tanya dalam
hati, adakah ayat lain yang berkenaan dengan waris selain
dari ketiga ayat tersebut?

Di dalam Al-Qur'an memang ada beberapa ayat yang
menyebutkan masalah hak waris bagi para kerabat (nasab),
akan tetapi tentang besar-kecilnya hak waris yang mesti
diterima mereka tidak dijelaskan secara rinci. Di antaranya
adalah firman Allah berikut:

"Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta
peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada
hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan
kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang
telah ditetaplan. " (an-Nisa': 7)

"... Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu
sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang
bukan kerabat) di dalam Kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu." (al-Anfal: 75)

"... Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu
sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah
daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin,
kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu
(seagama). Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam
Kitab (Allah)." (al-Ahzab: 6)

Itulah ayat-ayat dalam Al-Qur'an yang berkenaan dengan
masalah hak waris, selain dari ketiga ayat yang saya
sebutkan pada awal pembahasan.

Pada ayat kedua dan ketiga (al-Anfal: 75 dan al-Ahzab: 6)
ditegaskan bahwa kerabat pewaris (sang mayit) lebih berhak
untuk mendapatkan bagian dibandingkan lainnya yang bukan
kerabat atau tidak mempunyai tali kekerabatan dengannya.
Mereka lebih berhak daripada orang mukmin umumnya dan kaum
Muhajirin.

Telah masyhur dalam sejarah permulaan datangnya Islam,
bahwa pada masa itu kaum muslim saling mewarisi harta
masing-masing disebabkan hijrah dan rasa persaudaraan yang
dipertemukan oleh Rasulullah saw., seperti kaum Muhajirin
dengan kaum Anshar. Pada permulaan datangnya Islam, kaum
Muhajirin dan kaum Anshar saling mewarisi, namun justru
saudara mereka yang senasab tidak mendapatkan warisan.
Keadaan demikian berjalan terus hingga Islam menjadi agama
yang kuat, kaum muslim telah benar-benar mantap menjalankan
ajaran-ajarannya, dan kaidah-kaidah agama telah begitu
mengakar dalam hati setiap muslim. Maka setelah peristiwa
penaklukan kota Mekah, Allah me-mansukh-kan (menghapuskan)
hukum pewarisan yang disebabkan hijrah dan persaudaraan,
dengan hukum pewarisan yang disebabkan nasab dan
kekerabatan.

Adapun dalam ayat pertama (an-Nisa': 7) Allah SWT dengan
tegas menghilangkan bentuk kezaliman yang biasa menimpa dua
jenis manusia lemah, yakni wanita dan anak-anak. Allah SWT
menyantuni keduanya dengan rahmat dan kearifan-Nya serta
dengan penuh keadilan, yakni dengan mengembalikan hak waris
mereka secara penuh. Dalam ayat tersebut Allah dengan
keadilan-Nya memberikan hak waris secara imbang, tanpa
membedakan antara yang kecil dan yang besar, laki-laki
ataupun wanita. Juga tanpa membedakan bagian mereka yang
banyak maupun sedikit, maupun pewaris itu rela atau tidak
rela, yang pasti hak waris telah Allah tetapkan bagi kerabat
pewaris karena hubungan nasab. Sementara di sisi lain Allah
membatalkan hak saling mewarisi di antara kaum muslim yang
disebabkan persaudaraan dan hijrah. Meskipun demikian, ayat
tersebut tidaklah secara rinci dan detail menjelaskan jumlah
besar-kecilnya hak waris para kerabat. Jika kita pakai
istilah dalam ushul fiqh ayat ini disebut mujmal (global),
sedangkan rinciannya terdapat dalam ayat-ayat yang saya
nukilkan terdahulu (an-Nisa': 11-12 dan 176).

Masih tentang kajian ayat-ayat tersebut, mungkin ada di
antara kita yang bertanya-tanya dalam hati, mengapa bagian
kaum laki-laki dua kali lipat bagian kaum wanita, padahal
kaum wanita jauh lebih banyak membutuhkannya, karena di
samping memang lemah, mereka juga sangat membutuhkan bantuan
baik moril maupun materiil?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu saya utarakan
beberapa hikmah adanya syariat yang telah Allah tetapkan
bagi kaum muslim, di antaranya sebagai berikut:

  1. Kaum wanita selalu harus terpenuhi kebutuhan dan
    keperluannya, dan dalam hal nafkahnya kaum wanita wajib
    diberi oleh ayahnya, saudara laki-lakinya, anaknya, atau
    siapa saja yang mampu di antara kaum laki-laki
    kerabatnya.

  2. Kaum wanita tidak diwajibkan memberi nafkah kepada
    siapa pun di dunia ini. Sebaliknya, kaum lelakilah yang
    mempunyai kewajiban untuk memberi nafkah kepada keluarga
    dan kerabatnya, serta siapa saja yang diwajibkan atasnya
    untuk memberi nafkah dari kerabatnya.

  3. Nafkah (pengeluaran) kaum laki-laki jauh lebih besar
    dibandingkan kaum wanita. Dengan demikian, kebutuhan kaum
    laki-laki untuk mendapatkan dan memiliki harta jauh lebih
    besar dan banyak dibandingkan kaum wanita.

  4. Kaum laki-laki diwajibkan untuk membayar mahar kepada
    istrinya, menyediakan tempat tinggal baginya, memberinya
    makan, minum, dan sandang. Dan ketika telah dikaruniai
    anak, ia berkewajiban untuk memberinya sandang, pangan,
    dan papan.

  5. Kebutuhan pendidikan anak, pengobatan jika anak sakit
    (termasuk istri) dan lainnya, seluruhnya dibebankan hanya
    pada pundak kaum laki-laki. Sementara kaum wanita
    tidaklah demikian.
Itulah beberapa hikmah dari sekian banyak hikmah yang terkandung dalam perbedaan pembagian antara kaum laki-laki --dua kali lebih besar-- dan kaum wanita. Kalau saja tidak karena rasa takut membosankan, ingin sekali saya sebutkan hikmah-hikmah tersebut sebanyak mungkin. Secara logika, siapa pun yang memiliki tanggung jawab besar --hingga harus mengeluarkan pembiayaan lebih banyak-- maka dialah yang lebih berhak untuk mendapatkan bagian yang lebih besar pula. Kendatipun hukum Islam telah menetapkan bahwa bagian kaum laki-laki dua kali lipat lebih besar daripada bagian kaum wanita, Islam telah menyelimuti kaum wanita dengan rahmat dan keutamaannya, berupa memberikan hak waris kepada kaum wanita melebihi apa yang digambarkan. Dengan demikian, tampak secara jelas bahwa kaum wanita justru lebih banyak mengenyam kenikmatan dan lebih enak dibandingkan kaum laki-laki. Sebab, kaum wanita sama-sama menerima hak waris sebagaimana halnya kaum laki-laki, namun mereka tidak terbebani dan tidak berkewajiban untuk menanggung nafkah keluarga. Artinya, kaum wanita berhak untuk mendapatkan hak waris, tetapi tidak memiliki kewajiban untuk mengeluarkan nafkah.
Syariat Islam tidak mewajibkan kaum wanita untuk membelanjakan harta miliknya meski sedikit, baik untuk keperluan dirinya atau keperluan anak-anaknya (keluarganya), selama masih ada suaminya. Ketentuan ini tetap berlaku sekalipun wanita tersebut kaya raya dan hidup dalam kemewahan. Sebab, suamilah yang berkewajiban membiayai semua nafkah dan kebutuhan keluarganya, khususnya dalam hal sandang, pangan, dan papan. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya:
"... Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf ..." (al-Baqarah: 233)
Untuk lebih menjelaskan permasalahan tersebut perlu saya ketengahkan satu contoh kasus supaya hikmah Allah dalam menetapkan hukum-hukum-Nya akan terasa lebih jelas dan nyata. Contoh yang dimaksud di sini ialah tentang pembagian hak kaum laki-laki yang banyaknya dua kali lipat dari bagian kaum wanita.
Seseorang meninggal dan mempunyai dua orang anak, satu laki-laki dan satu perempuan. Ternyata orang tersebut meninggalkan harta, misalnya sebanyak Rp 3 juta. Maka, menurut ketetapan syariat Islam, laki-laki mendapatkan Rp 2 juta sedangkan anak perempuan mendapatkan Rp 1 juta.
Apabila anak laki-laki tersebut telah dewasa dan layak untuk menikah, maka ia berkewajiban untuk membayar mahar dan semua keperluan pesta pernikahannya. Misalnya, ia mengeluarkan semua pembiayaan keperluan pesta pernikahan itu sebesar Rp 20 juta. Dengan demikian, uang yang ia terima dari warisan orang tuanya tidak tersisa. Padahal, setelah menikah ia mempunyai beban tanggung jawab memberi nafkah istrinya.
Adapun anak perempuan, apabila ia telah dewasa dan layak untuk berumah tangga, dialah yang mendapatkan mahar dari calon suaminya. Kita misalkan saja mahar itu sebesar Rp 1 juta. Maka anak perempuan itu telah memiliki uang sebanyak Rp 2 juta (satu juta dari harta warisan dan satu juta lagi dari mahar pemberian calon suaminya). Sementara itu, sebagai istri ia tidak dibebani tanggung jawab untuk membiayai kebutuhan nafkah rumah tangganya, sekalipun ia memiliki harta yang banyak dan hidup dalam kemewahan. Sebab dalam Islam kaum laki-lakilah yang berkewajiban memberi nafkah istrinya, baik berupa sandang, pangan, dan papan. Jadi, harta warisan anak perempuan semakin bertambah, sedangkan harta warisan anak laki-laki habis.
Dalam keadaan seperti ini manakah di antara kaum laki-laki dan kaum wanita yang lebih banyak menikmati harta dan lebih berbahagia keadaannya? Laki-laki ataukah wanita? Inilah logika keadilan dalam agama, sehingga pembagian hak laki-laki dua kali lipat lebih besar daripada hak kaum wanita.
1 Tafsir al-Qurthubi, juz V, hlm. 56.

B. Hak Waris Kaum Wanita sebelum Islam

Sebelum Islam datang, kaum wanita sama sekali tidak mempunyai hak untuk menerima warisan dari peninggalan pewaris (orang tua ataupun kerabatnya). Dengan dalih bahwa kaum wanita tidak dapat ikut berperang membela kaum dan sukunya. Bangsa Arab jahiliah dengan tegas menyatakan, "Bagaimana mungkin kami memberikan warisan (harta peninggalan) kepada orang yang tidak bisa dan tidak pernah menunggang kuda, tidak mampu memanggul senjata, serta tidak pula berperang melawan musuh." Mereka mengharamkan kaum wanita menerima harta warisan, sebagaimana mereka mengharamkannya kepada anak-anak kecil.
Sangat jelas bagi kita bahwa sebelum Islam datang bangsa Arab memperlakukan kaum wanita secara zalim. Mereka tidak memberikan hak waris kepada kaum wanita dan anak-anak, baik dari harta peninggalan ayah, suami, maupun kerabat mereka. Barulah setelah Islam datang ada ketetapan syariat yang memberi mereka hak untuk mewarisi harta peninggalan kerabat, ayah, atau suami mereka dengan penuh kemuliaan, tanpa direndahkan. Islam memberi mereka hak waris, tanpa boleh siapa pun mengusik dan menentangnya. Inilah ketetapan yang telah Allah pastikan dalam syariat-Nya sebagai keharusan yang tidak dapat diubah.
Ketika turun wahyu kepada Rasulullah saw. --berupa ayat-ayat tentang waris-- kalangan bangsa Arab pada saat itu merasa tidak puas dan keberatan. Mereka sangat berharap kalau saja hukum yang tercantum dalam ayat tersebut dapat dihapus (mansukh). Sebab menurut anggapan mereka, memberi warisan kepada kaum wanita dan anak-anak sangat bertentangan dengan kebiasaan dan adat yang telah lama mereka amalkan sebagai ajaran dari nenek moyang.
Ibnu Jarir ath-Thabari meriwayatkan sebuah kisah yang bersumber dari Abdullah Ibnu Abbas r.a.. Ia berkata: "Ketika ayat-ayat yang menetapkan tentang warisan diturunkan Allah kepada RasulNya --yang mewajibkan agar memberikan hak waris kepada laki-laki, wanita, anak-anak, kedua orang tua, suami, dan istri-- sebagian bangsa Arab merasa kurang senang terhadap ketetapan tersebut. Dengan nada keheranan sambil mencibirkan mereka mengatakan: 'Haruskah memberi seperempat bagian kepada kaum wanita (istri) atau seperdelapan.' Memberikan anak perempuan setengah bagian harta peninggalan? Juga haruskah memberikan warisan kepada anak-anak ingusan? Padahal mereka tidak ada yang dapat memanggul senjata untuk berperang melawan musuh, dan tidak pula dapat andil membela kaum kerabatnya. Sebaiknya kita tidak perlu membicarakan hukum tersebut. Semoga saja Rasulullah melalaikan dan mengabaikannya, atau kita meminta kepada beliau agar berkenan untuk mengubahnya.' Sebagian dari mereka berkata kepada Rasulullah: 'Wahai Rasulullah, haruskah kami memberikan warisan kepada anak kecil yang masih ingusan? Padahal kami tidak dapat memanfaatkan mereka sama sekali. Dan haruskah kami memberikan hak waris kepada anak-anak perempuan kami, padahal mereka tidak dapat menunggang kuda dan memanggul senjata untuk ikut berperang melawan musuh?'"
Inilah salah satu bentuk nyata ajaran syariat Islam dalam menyantuni kaum wanita; Islam telah mampu melepaskan kaum wanita dari kungkungan kezaliman zaman. Islam memberikan hak waris kepada kaum wanita yang sebelumnya tidak memiliki hak seperti itu, bahkan telah menetapkan mereka sebagai ashhabul furudh (kewajiban yang telah Allah tetapkan bagian warisannya). Kendatipun demikian, dewasa ini masih saja kita jumpai pemikiran yang kotor yang sengaja disebarluaskan oleh orang-orang yang berhati buruk. Mereka beranggapan bahwa Islam telah menzalimi kaum wanita dalam hal hak waris, karena hanya memberikan separo dari hak kaum laki-laki.
Anggapan mereka semata-mata dimaksudkan untuk memperdaya kaum wanita tentang hak yang mereka terima. Mereka berpura-pura akan menghilangkan kezaliman yang menimpa kaum wanita dengan cara menyamakan hak kaum wanita dengan hak kaum laki-laki dalam hal penerimaan warisan.
Mereka yang memiliki anggapan demikian sama halnya menghasut kaum wanita agar mereka menjadi pembangkang dan pemberontak dengan menolak ajaran dan aturan hukum dalam syariat Islam. Sehingga pada akhirnya kaum wanita akan menuntut persamaan hak penerimaan warisan yang sama dan seimbang dengan kaum laki-laki.
Yang sangat mengherankan dan sulit dicerna akal sehat ialah bahwa mereka yang berpura-pura prihatin tentang hak waris kaum wanita, justru mereka sendiri sangat bakhil terhadap kaum wanita dalam hal memberi nafkah. Subhanallah! Sebagai bukti, mereka bahkan menyuruh kaum wanita untuk bekerja demi menghidupi diri mereka, di antara mereka bekerja di ladang, di kantor, di tempat hiburan, bar, kelab malam, dan sebagainya.
Corak pemikiran seperti ini dapat dipastikan merupakan hembusan dari Barat yang banyak diikuti oleh orang-orang yang teperdaya oleh kedustaan mereka. Kultur seperti itu tidak menghormati kaum wanita, bahkan tidak menempatkan mereka pada timbangan yang adil. Budaya mereka memandang kaum wanita tidak lebih sebagai pemuas syahwat. Mereka sangat bakhil dalam memberikan nafkah kepada kaum wanita, dan mengharamkan wanita untuk mengatur harta miliknya sendiri, kecuali dengan seizin kaum laki-laki (suaminya). Lebih dari itu, budaya mereka mengharuskan kaum wanita bekerja guna membiayai hidupnya. Kendatipun telah nyata demikian, mereka masih menuduh bahwa Islam telah menzalimi dan membekukan hak wanita.

Di Kutip dari:

Pembagian Waris Menurut Islam
oleh Muhammad Ali ash-Shabuni
penerjemah A.M.Basamalah

Special thank's to Allah SWT yang senantiasa memberikan CAHAYA KEBENARAN ISLAM.

0 komentar:

Posting Komentar